TANYA DAN ORDER VIA FACEBOOK

Senin, 12 September 2011

Belajar Dari Elang Gumilang (Mahasiswa Beromzet 17 Milyar)

Pertama kali saya membaca
profilnya di majalah Pengusaha
yang berjudul
“Kepak Elang Memburu Intan”.
Yang membuat saya kagum,
statusnya yang masih
mahasiswa berusia 22 tahun, dan
sudah memiliki perusahaan
beromzet miliaran
rupiah.
Alhamdulillah, dalam satu seminar
entrepreneurship, saya bisa
bertemu
langsung dengan dia. Sosoknya
yang ramah dan rendah hati,
serta gaya
berbicara menunjukkan prinsip
hidup yang dipegangnya.
Bagaimana kiprahnya dalam
menjalankan bisnisnya ?? Saya
cari di internet,
akhirnya dapat artikel mengenai
profil Elang.. Saya sharing disini
saja ya…
*Elang Gumilang, Mahasiswa
Bangun Perumahan untuk Orang
Miskin Demi
Keseimbangan Hidup*
Selama ini banyak developer
yang membangun perumahan
namun hanya bisa
dijangkau oleh kalangan
menengah ke atas saja. Jarang
sekali developer yang
membangun perumahan yang
memang dikhususkan bagi orang-
orang kecil. Elang
Gumilang (22), seorang
mahasiswa yang memiliki jiwa
wirausaha tinggi
ternyata memiliki kepedulian
tinggi terhadap kaum kecil yang
tidak memiliki
rumah. Meski bermodal pas-
pasan, ia berani membangun
perumahan khusus untuk
orang miskin. Apa yang
mendasarinya?
Jumat sore (28/12), suasana
Institut Pertanian bogor (IPB),
terlihat
lengang. Tidak ada geliat
aktivitas proses belajar
mengajar. Maklum hari
itu, hari tenang mahasiswa untuk
ujian akhir semester (UAS). Saat
Realita
melangkahkah kaki ke gedung
Rektorat, terlihat sosok pemuda
berperawakan
kecil dari kejauhan langsung
menyambut kedatangan Realita.
Dialah Elang
Gumilang (22), seorang wirausaha
muda yang peduli dengan kaum
miskin. Sambil
duduk di samping gedung
Rektorat, pemuda yang kerap
disapa Elang ini,
langsung mengajak Realita ke
perumahannya yang tak jauh
dari kampus IPB.
Untuk sampai ke perumahan
tersebut hanya membutuhkan
waktu 15 menit dengan
menggunakan kendaraan roda
empat. Kami berhenti saat
melewati deretan rumah
bercat kuning tipe 22/60.
Rupanya bangunan yang berdiri
di atas lahan 60
meter persegi itu adalah
perumahan yang didirikannya
yang diperuntukan
khusus bagi orang-orang miskin.
Setelah puas mengitari
perumahan, Elang
mengajak Realita untuk
melanjutkan obrolan di
kantornya.
Elang sendiri merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara
pasangan H. Enceh
(55) dan Hj. Prianti (45). Elang
terlahir dari keluarga yang
lumayan berada,
yaitu ayahnya berprofesi sebagai
kontraktor, sedangkan ibunya
hanya ibu
rumah tangga biasa. Sejak kecil
orang tuanya sudah
mengajarkan bahwa segala
sesuatu diperoleh tidak dengan
gratis. Orang tuanya juga
meyakinkan bahwa
rezeki itu bukan berasal dari
mereka tapi dari Allah SWT..
Ketika duduk di bangku Sekolah
Dasar Pengadilan 4, Bogor, Elang
sudah
mengikuti berbagai perlombaan
dan bahkan ia pernah
mengalahkan anak SMP saat
lomba cerdas cermat. Karena
kepintarannya itu, Elang pun
menjadi anak
kesayangan guru-gurunya.
Begitu pula ketika masuk SMP I
Bogor, SMP terfavorit di
kabupaten Bogor,
Elang selalu mendapatkan
rangking. Pria kelahiran Bogor, 6
April 1985 ini
mengaku kesuksesan yang ia
raih saat ini bukanlah sesuatu
yang instan.
“Butuh proses dan kesabaran
untuk mendapatkan semua ini,
tidak ada sesuatu
yang bisa dicapai secara instan,”
tegasnya. Jiwa wirausaha Elang
sendiri
mulai terasah saat ia duduk di
bangku kelas 3 SMA I Bogor,
Jawa Barat. Dalam
hati, Elang bertekad setelah lulus
SMA nanti ia harus bisa
membiayai
kuliahnya sendiri tanpa
menggantungkan biaya kuliah
dari orang tuanya. Ia
pun mempunyai target setelah
lulus SMA harus mendapatkan
uang Rp 10 juta
untuk modal kuliahnya kelak.
Berjualan Donat. Akhirnya, tanpa
sepengetahuan orang tuanya,
Elang mulai
berbisnis kecil-kecilan dengan
cara berjualan donat keliling.
Setiap hari ia
mengambil 10 boks donat
masing-masing berisi 12 buah
dari pabrik donat untuk
kemudian dijajakan ke Sekolah
Dasar di Bogor. Ternyata
lumayan juga. Dari
hasil jualannya ini, setiap hari
Elang bisa meraup keuntungan
Rp 50 ribu.
Setelah berjalan beberapa bulan,
rupanya kegiatan sembunyi-
sembunyiny a ini
tercium juga oleh orang tuanya.
“Karena sudah dekat UAN (Ujian
Akhir
Nasional), orang tua menyuruh
saya untuk berhenti berjualan
donat. Mereka
khawatir kalau kegiatan saya ini
mengganggu ujian akhir,” jelas
pria
pemenang lomba bahasa sunda
tahun 2000 se-kabupaten Bogor
ini.
Dilarang berjualan donat, Elang
justru tertantang untuk mencari
uang dengan
cara lain yang tidak mengganggu
sekolahnya. Pada tahun 2003
ketika Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB
mengadakan lomba Java
Economic Competion se-Jawa,
Elang mengikutinya dan berhasil
menjuarainya. Begitu pula saat
Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia (UI)
menyelenggarakan kompetisi
Ekonomi, Elang
juga berhasil menjadi juara ke-
tiga. Hadiah uang yang diperoleh
dari setiap
perlombaan, ia kumpulkan untuk
kemudian digunakan sebagai
modal kuliah.
Setelah lulus SMU, Elang
melanjutkan kuliah di Fakultas
Ekonomi IPB
(Institut Pertanian Bogor). Elang
sendiri masuk IPB tanpa melalui
tes SPMB
(Sistem Penerimaan Mahasiswa
Baru, red) sebagaimana calon
mahasiswa yang
akan masuk ke Perguruan Tinggi
Negeri. Ini dikarenakan Elang
pernah
menjuarai kompetisi ekonomi
yang diadakan oleh IPB sehingga
bisa masuk tanpa
tes. Saat awal-awal masuk
kuliah, Elang mendapat musibah
yang menyebabkan
uang Rp 10 jutanya tinggal Rp 1
juta. Namun Elang enggan
memberitahu apa
musibah yang dialaminya
tersebut.
Padahal uang itu rencananya
akan digunakan sebagai modal
usaha. Meski hanya
bermodal Rp 1 juta, Elang tidak
patah semangat untuk memulai
usaha. Uang Rp
1 juta itu ia belanjakan sepatu
lalu ia jual di Asrama Mahasiswa
IPB. Lewat
usaha ini, dalam satu bulan Elang
bisa mengantongi uang Rp 3
jutaan. Tapi
setelah berjalan beberapa tahun,
orang yang menyuplai sepatunya
entah kenapa
mulai menguranginya dengan
cara menurunkan kualitas
sepatunya. Satu per satu
pelanggannya pun tidak mau lagi
membeli sepatu Elang. Sejak itu,
Elang
memutuskan untuk tidak lagi
berjualan sepatu.
Setelah tidak lagi berbisnis
sepatu, Elang kebingungan
mencari bisnis
apalagi. Pada awalnya, dengan
sisa modal uang bisnis sepatu,
rencanaya ia
akan gunakan untuk bisnis ayam
potong. Tapi, ketika akan terjun
ke bisnis
ayam potong, Elang justru
melihat peluang bisnis pengadaan
lampu di
kampusnya. “Peluang bisnis lampu
ini berawal ketika saya melihat
banyak
lampu di IPB yang redup. Saya
fikir ini adalah peluang bisnis
yang
menggiurkan,
” paparnya. Karena tidak punya
modal banyak, Elang
menggunakan
strategi Ario Winarsis, yaitu
bisnis tanpa menggunakan modal.
Ario Winarsis
sendiri awalnya adalah seorang
pemuda miskin dari Amerika
Latin, Ario
Winarsis mengetahui ada seorang
pengusaha tembakau yang kaya
raya di
Amerika. Setiap hari, ketika
pengusaha itu keluar rumah, Ario
Winarsis
selalu melambaikan tangan ke
pengusaha itu. Pada awalnya
pengusaha itu tidak
memperdulikannya. Tapi karena
Ario selalu melambaikan tangan
setiap hari,
pengusaha tembakau itu
menemuinya dan mengatakan,
“Hai pemuda, kenapa kamu
selalu melambaikan tangan setiap
saya ke luar rumah?” Pemuda
miskin itu lalu
menjawab, “Saya punya
tembakau kualitas bagus. Bapak
tidak usah membayar
dulu, yang penting saya dapat
PO dulu dari Bapak.” Setelah
mendengar jawaban
dari pemuda itu, pengusaha kaya
itu lalu membuatkan tanda
tangan dan stempel
kepada pemuda tersebut.
Dengan modal stempel dan tanda
tangan dari pengusaha
Amerika itu, pemuda tersebut
pulang dan mengumpulkan hasil
tembakau di
kampungnya untuk di jual ke
Amerika lewat si pengusaha kaya
raya itu. Maka,
jadilah pemuda itu orang kaya
raya tanpa modal.
Begitupula Elang, dengan modal
surat dari kampus, ia melobi ke
perusahaan
lampu Philips pusat untuk
menyetok lampu di kampusnya.
“Alhamdulillah
proposal saya gol, dan setiap
penjualan saya mendapat
keuntungan Rp 15
juta,” ucapnya bangga.
Tapi, karena bisnis lampu ini
musiman dan perputaran
uangnya lambat, Elang
mulai berfikir untuk mencari
bisnis yang lain. Setelah melihat
celah di
bisnis minyak goreng, Elang mulai
menekuni jualan minyak goreng
ke
warung-warung. Setiap pagi
sebelum berangkat kuliah, ia
harus membersihkan
puluhan jerigen, kemudian diisi
minyak goreng curah, dan dikirim
ke
warung-warung Pasar Anyar,
serta Cimanggu, Bogor. Setelah
selesai mengirim
minyak goreng, ia kembali ke
kampus untuk kuliah. Sepulang
kuliah, Elang
kembali mengambil jerigen-jerigen
di warung untuk diisi kembali
keesokan
harinya. Tapi, karena bisnis
minyak ini 80 persen
menggunakan otot, sehingga
mengganggu kuliahnya. Elang pun
memutuskan untuk berhenti
berjualan. “Saya
sering ketiduran di kelas karena
kecapain,” kisahnya.
Elang mengaku selama ini ia
berbisnis lebih banyak
menggunakan otot dari
pada otak. Elang berkonsultasi
ke beberapa para pengusaha
dan dosennya untuk
minta wejangan. Dari hasil
konsultasi, Elang mendapat
pencerahan bahwa
berbisnis tidak harus selalu
memakai otot, dan banyak
peluang-peluang bisnis
yang tidak menggunakan otot.
Setelah mendapat berbagai
masukan, Elang mulai merintis
bisnis Lembaga
Bahasa Inggris di kampusnya.
“Bisnis bahasa Inggris ini sangat
prospektif
apalagi di kampus, karena ke
depan dunia semakin global dan
mau tidak mau
kita dituntut untuk bisa bahasa
Inggris,” jelasnya. Adapun
modalnya, ia
patungan bersama kawan-
kawannya. Sebenarnya ia bisa
membiayai usaha itu
sendiri, tapi karena pegalaman
saat jualan minyak, ia
memutuskan untuk
mengajak teman-temannya.
Karena lembaga kursusnyanya
ditangani secara
profesional dengan tenaga
pengajar dari lulusan luar negeri,
pihak Fakultas
Ekonomi mempercayakan
lembaganya itu menjadi mitra.
Karena dalam bisnis lembaga
bahasa Inggris Elang tidak
terlibat langsung dan
hanya mengawasi saja, ia
manfaatkan waktu luangnya
untuk bekerja sebagai
marketing perumahan. “Saya di
marketing tidak mendapat gaji
bulanan, saya
hanya mendapatkan komisi
setiap mendapat konsumen,”
ujarnya.
Bangun Rumah Orang Miskin. Di
usianya yang relatif muda,
pemuda yang tak
suka merokok ini sudah menuai
berbagai keberhasilan. Dari hasil
usahanya itu
Elang sudah mempunyai rumah
dan mobil sendiri. Namun di balik
keberhasilannya itu, Elang
merasa ada sesuatu yang
kurang. Sejak saat itu ia
mulai merenungi kondisinya.
“Kenapa kondisi saya begini,
padahal saya di IPB
hanya tinggal satu setengah
tahun lagi. Semuanya saya sudah
punya, apalagi
yang saya cari di dunia ini?”
batinnya.
Setelah lama merenungi
ketidaktenangannya itu,
akhirnya Elang mendapatkan
jawaban. Ternyata selama ini ia
kurang bersyukur kepada Tuhan.
Sejak saat
itulah Elang mulai mensyukuri
segala kenikmatan dan
kemudahan yang diberikan
oleh Tuhan. Karena bingung mau
bisnis apalagi, akhirnya Elang
shalat
istikharah minta ditunjukkan
jalan. “Setelah shalat istikharah,
dalam tidur
saya bermimpi melihat sebuah
bangunan yang sangat megah
dan indah di
Manhattan City, lalu saya
bertanya kepada orang, siapa
sih yang membuat
bangunan megah ini? Lalu orang
itu menjawab, “Bukannya kamu
yang membuat?”
Setelah itu Elang terbangun dan
merenungi maksud mimpi
tersebut. “Saya pun
kemudian memberanikan diri
untuk masuk ke dunia properti,”
ujarnya.
Pengalaman bekerja di marketing
perumahan membuatnya
mempunyai pengetahuan
di dunia properti. Sejak mimpi itu
ia mulai mencoba-coba ikut
berbagai
tender. Tender pertama yang ia
menangi Rp 162 juta di Jakarta
yaitu
membangun sebuah Sekolah
Dasar di daerah Jakarta Barat.
Sukses menangani
sekolah membuat Elang percaya
diri untuk mengikuti tender-
tender yang lebih
besar. Sudah berbagai proyek
perumahan ia bangun.
Selama ini bisnis properti
kebanyakan ditujukan hanya
untuk orang-orang kaya
atau berduit saja. Sedangkan
perumahan yang sederhana dan
murah yang
terjangkau untuk orang miskin
jarang sekali pengembang yang
peduli. Padahal
di Indonesia ada 70 juta rakyat
yang masih belum memiliki rumah.
Apalagi
rumah juga merupakan
kebutuhan yang sangat primer.
Sebagai tempat berteduh
dan membangun keluarga.
“Banyak orang di Indonesia
terutama yang tinggal di
kota belum punya rumah,
padahal mereka sudah berumur
60 tahun, biasanya
kendala mereka karena DP yang
kemahalan, cicilan kemahalan, jadi
sampai
sekarang mereka belum berani
untuk memiliki rumah,” jelasnya.
Dalam hidupnya, Elang ingin
memiliki keseimbangan dalam
hidup. Bagi Elang,
kalau mau kenal orang maka
kenalilah 10 orang terkaya di
Indonesia dan juga
kenal 10 orang termiskin di
Indonesia. Dengan kenal 10 orang
termiskin dan
terkaya, akan mempunyai
keseimbangan dalam hidup, dan
pasti akan melakukan
sesuatu untuk mereka. Melihat
realitas sosial seperti itu, Elang
terdorong
untuk mendirikan perumahan
khusus untuk orang-orang
ekonomi ke bawah. Maka
ketika ada peluang mengakuisisi
satu tanah di desa Cinangka
kecamatan
Ciampea, Elang langsung
mengambil peluang itu. Tapi,
karena Elang tidak
punya banyak modal, ia
mengajak teman-temannya yang
berjumlah 5 orang untuk
patungan. Dengan modal
patungan Rp 340 juta, pada
tahun 2007 Elang mulai
membangun rumah sehat
sederhana (RSS) yang difokuskan
untuk si miskin
berpenghasilan rendah. Dari
penjualan rumah yang sedikit
demi sedikit itu.
Modalnya Elang putar kembali
untuk membebaskan lahan di
sekitarnya. Rumah
bercat kuning pun satu demi
satu mulai berdiri.
Elang membangun rumah dengan
berbagai tipe, ada tipe 22/60
dan juga tipe
36/72. Rumah-rumah yang berdiri
di atas lahan 60 meter persegi
tersebut
ditawarkan hanya seharga Rp 25
juta dan Rp 37 juta per unitnya.
“Jadi, hanya
dengan DP Rp 1,25 juta dan
cicilan Rp 90.000 ribu per bulan
selama 15 tahun,
mereka sudah bisa memiliki
rumah,” ungkapnya.
Karena modalnya pas-pasan,
untuk media promosinya sendiri,
Elang hanya
mengiklankan di koran lokal.
Karena harganya yang relatif
murah, pada tahap
awal pembangunan langsung
terjual habis. Meski harganya
murah, tapi
fasilitas pendukung di dalamnya
sangat komplit, seperti Klinik 24
jam,
angkot 24 jam, rumah ibadah,
sekolah, lapangan olah raga, dan
juga dekat
dengan pasar. Karena rumah itu
diperuntukkan bagi kalangan
ekonomi bawah,
kebanyakan para profesi
konsumennya adalah buruh
pabrik, staf tata usaha
(TU) IPB, bahkan ada juga para
pemulung.
Sisihkan 10 Persen. Dengan
berbagai kesuksesan di usia
muda itu, Elang tidak
lupa diri dengan hidup
bermewah-mewahan, justru
Elang semakin mendekatkan
diri kepada Tuhan. Salah satu
wujud rasa syukur atas
nikmatnya itu, dalam
setiap proyeknya, ia selalu
menyisihkan 10 persen untuk
kegiatan amal. “Uang
yang 10 persen itu saya
masukkan ke BMT (Baitul Mal Wa
Tanwil/tabungan)
pribadi, dan saya alokasikan
untuk membantu orang-orang
miskin dan orang
yang kurang modal,” bebernya.
Bagi Elang, materi yang saat ini
ia miliki ada
hak orang miskin di dalamnya
yang musti dibagi. Selain
menyisihkan 10 persen
dari hasil proyeknya, Elang juga
memberikan sedekah mingguan,
bulanan, dan
bahkan tahunan kepada fakir
miskin.
Bagi Elang, sedekah itu tidak
perlu banyak tapi yang paling
penting adalah
kontinuitas dari sedekah
tersebut. Meski jumlahnya kecil,
tapi jika
dilakukan secara rutin, itu lebih
baik daripada banyak tapi tidak
rutin.
Elang sendiri terbilang sebagai
salah satu sosok pengusaha
muda yang sukses
dalam merintis bisnis di tanah air.
Prestasinya patut diapresiasi dan
dijadikan suri tauladan bagi
anak-anak muda yang lain. Bagi
Elang, semua
anak muda Indonesia bisa menjadi
orang yang sukses, karena
kelebihan manusia
dengan ciptaan mahkluk Tuhan
yang lain adalah karena manusia
diberi akal.
Dan, ketika manusia lahir ke
dunia dan sudah bisa mulai
berfikir, manusia
itu seharusnya sudah bisa
mengarahkan hidupnya mau
dibawa kemana. “Kita
hidup ibarat diberi diary kosong.
Lalu, tergantung kitanya mau
mengisi
catatan hidup ini. Mau hura-
hurakah? Atau mau mengisi hidup
ini dengan
sesuatu yang bermanfaat bagi
yang lain,” ucapnya berfilosof.
Ketika
seseorang sudah bisa
menetapkan arah hidupnya mau
dibawa kemana, tinggal
orang itu mencari kunci-kunci
kesuksesannya, seperti ilmu dan
lain
sebagainya.
Menjaga Masjid. Adapun kunci
kesuksesan Elang sendiri berawal
dari perubahan
gaya hidupnya saat kuliah
semester lima. Pada siang hari,
Elang bak singa
padang pasir. Selain kuliah, ia
juga menjalankan bisnis mencari
peluang-peluang bisnis baru,
negosiasi, melobi, dan sebagainya.
Namun ketika
malam tiba, ia harus menjadi
pelayan Tuhan, dengan menjadi
penjaga Masjid.
“Setiap malam dari semester lima
sampai sekarang saya tinggal di
Masjid yang
berada dekat terminal Bogor.
Dari mulai membersihkan Masjid,
sampai
mengunci, dan membukakan pintu
pagar untuk orang-orang yang
akan shalat
Shubuh, semua saya lakukan,”
ujarnya merendah.
Elang mengaku ketika menjadi
penjaga Masjid ia mendapat
kekuatan pemikiran
yang luar biasa. Bagi Elang,
Masjid selain sebagai sarana
ibadah, juga
tempat yang sangat mustajab
untuk merenung dan memasang
strategi. “Dalam
halaman masjid itu juga ada
pohon pisang dan di sampingnya
gundukan tanah.
Saya anggap itu adalah kuburan
saya. Ketika saya punya masalah
saya merenung
kembali dan kata Nabi, orang
yang paling cerdas adalah orang
yang mengingat
mati,” ujarnya.
Ikut Lomba Wirausaha Muda
Mandiri Karena Tukang Koran
“Ghaib”
Elang semakin dikenal khalayak
luas ketika berhasil menjadi juara
pertama di
ajang lomba wirausaha muda
mandiri yang diadakan oleh
sebuah bank belum lama
ini. Keikutsertaan Elang dalam
lomba tersebut sebenarnya
berkat informasi
dari koran yang ia dapatkan
lewat tukang koran “ghaib”.
Kenapa “ghaib”?,
sebab setelah memberi koran,
tukang koran itu tidak pernah
kembali lagi
padahal sebelumnya ia berjanji
untuk kembali lagi.
Peristiwa aneh itu terjadi saat ia
sedang mencuci mobil di depan
rumahnya.
Tiba-tiba saja ada tukang koran
yang menawarkan koran. Karena
sudah
langganan koran, Elang pun
menolak tawaran tukang koran
itu dengan
mengatakan kalau ia sudah
berlangganan koran. Tapi
anehnya musti sudah
mengatakan demikian, si tukang
koran itu tetap memaksa untuk
membelinya,
karena elang tidak mau akhirnya
si tukang koran itu memberikan
dengan
cuma-cuma kepada elang dan
berjanji akan kembali lagi
keesokan harinya.
Karena diberi secara cuma-cuma,
akhirnya Elang pun mau
menerimanya.
Setelah selesai mencuci mobil,
Elang langsung menyambar koran
pemberian
tukang koran tadi. Setelah
membaca beberapa lembar, Elang
menemukan satu
pengumuman lomba wirausaha
muda mandiri. Merasa sebagai
anak muda, ia
tertantang untuk mengikuti
lomba tersebut. Elang pun
membawa misi bahwa
wirausaha bukan teori melainkan
ilmu aplikatif. Saat lolos
penjaringan dan
dikumpulkan di Hotel Nikko
Jakarta, Elang bertemu dengan
seorang Bapak yang
anaknya sedang sakit keras di
pinggir jalan bundaran Hotel
Indonesia. Elang
merasa ada dua dunia yang
sangat kontras, di satu sisi ada
orang tinggal di
hotel mewah dan makan di
restoran, tapi di sisi lain ada
orang yang tinggal
di jalanan. Akhirnya, pada malam
penganugerahan, tim juri
memutuskan
Elanglah yang menjadi juaranya.
Padahal kalau diukur secara
omset,
pendapatannya berbeda jauh
dengan para pengusaha lainnya.
Dari Juara I Wirausaha itu, Elang
membawa hadiah sebesar Rp 20
juta,
ditambah tawaran kuliah S2 di
Universitas Indonesia. Melalui
lomba itu,
terbukalah jalan cerah bagi Elang
untuk menapaki dunia wirausaha
yang lebih
luas.
Ingin Membawahi Perusahaan
yang Mempekerjakan 100 Ribu
Orang
Perjalanan Elang dalam merintis
bisnis properti, tidak selamanya
berjalan
mulus. Pada awal-awal merintis
bisnis ini, ia banyak sekali
mengalami
hambatan, terutama ketika akan
meminjam modal dari Bank.
Sebagai mahasiswa
biasa, tentunya perbankan
merasa enggan untuk
memberikan modal. Padahal,
prospek bisnis properti sangat
jelas karena setiap orang pasti
membutuhkan
rumah. “Beginilah jadi nasib orang
muda, susah orang percaya.
Apalagi
perbankan. Orang bank bilang
lebih baik memberikan ke tukang
gorengan
daripada ke mahasiswa,”
ungkapnya.
Meski sering ditolak bank pada
awal-awal usahanya, Elang tidak
pernah patah
semangat untuk berbisnis.
Baginya, kalau bank tidak mau
memberi pinjaman,
masih banyak orang yang
percaya dengan anak muda yang
mau memberi pinjaman.
Terbukti dengan hasil jerih
payahnya selama ini sehingga
bisa berjalan.
Ada banyak impian yang ingin
diraih Elang, di antaranya
membentuk organisasi
Maestro Muda Indonesia dan
membawahi perusahaan yang
mempekerjakan karyawan
100 ribu orang. Motivasi
terbesar Elang dalam meraih
impian tersebut adalah
ingin menjadi tauladan bagi
generasi muda, membantu
masyarakat sekitar, dan
meraih kemuliaan dunia serta
akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar